IBU BEKERJA bukan vs IBU RUMAH TANGGA
Ini merupakan tulisan yang sudah lama
saya rencanakan, tapi tertunda terus karena berbagai kesibukan. Tulisan
yang lahir karena saya miris dengan saling tuding-menuding. Ini paling
baik, itu tidak! Padahal keduanya adalah pilihan.
Sebelum masuk ke hal yang lebih serius,
mari sejenak bayangkan dunia ini tanpa ibu-ibu yang mau bekerja di
sektor publik. Nggak ada dokter kandungan perempuan, yang ada laki-laki
atau dokter yang masih gadis. Nggak ada ibu guru, yang ada pak guru atau
bu guru yang masih muda-muda. Nggak ada pembantu rumah tangga perempuan
(yang sekedar menyuci nyetrika lalu pulang), karena mereka rerata juga
adalah ibu. Nggak ada pedagang perempuan, kecuali yang masih gadis-gadis
seusia SPG-SPG itu. Nggak ada psikolog perempuan, konsulnya dengan
bapak-bapak psikolog aja. Nggak ada bidan perempuan yang senior,
melahirkan pun dengan bidan muda yang baru lulus, atau dokter SpOG yang
laki-laki.
Ini memang ekstrim banget ya. Sampai ada yang gemes bilang ke saya, “Sekalian aja dibilang, andai tak ada laki-laki di dunia ini!“.
Hoho. Tetapi, kadang, kita perlu berpikir ekstrim untuk melihat, bahwa
harmoni kehidupan itu ada justru karena keragaman. Ada ibu yang bekerja,
ada ibu yang tak bekerja. Tak ada siapa yang lebih baik dari siapa,
kecuali siapa yang paling banyak amalnya. Masing-masing ada peluang dan
ada ancamannya. Ibu bekerja relatif sedikit memiliki waktu dengan anak.
Namun, ibu di rumah pun tak otomatis lebih baik, karena bisa jadi tidak
bekerja di luar tetapi juga belum sepenuhnya perform dalam mengasuh
anak, atau sibuk dengan hal lain, termasuk menjadi sosialita, atau
bersosmed ria, meskipun di dalam rumah.
Jadi mari, saling bersinergi, bukan saling menghakimi :)
Jadi mari, saling bersinergi, bukan saling menghakimi :)
Memang kadang terlihat bahwa rumput
tetangga lebih hijau. Ibu bekerja (Working Mom, WM) tetaplah ibu, yang
juga ingin selalu dekat dengan anak-anaknya. Namun kondisi tiap orang
tak sama. Ibu di rumah (Full Time Mother, FTM) pun, juga adalah pilihan,
yang kadang tak semua orang memiliki peluang. Dalam keseharian, ibu di
rumah kadang juga menginginkan waktu yang tenang, ‘me time’ lebih
banyak, tak melulu disibukkan urusan anak-anak. Ibu bekerja kadang iri
pada ibu di rumah , ibu di rumah kadang iri pada ibu bekerja. Ini normal
saja. tanda bahwa saling cinta :)
Pada tiap rumah tangga, banyak latar
belakang yang melahirkan sebuah keputusan. Ada yang suaminya di-PHK, ada
yang suaminya tiba-tiba invalid dan tak mampu bekerja. Ada juga ibu
yang harus menyantuni dua orang tuanya yang makin renta, sedang
penghasilan dari suami tak cukup untuk itu semua. Dan ada pula yang
bekerja karena keberadaannya dibutuhkan oleh kaumnya, ibu-ibu dan
anak-anak lain. Sepanjang semua bukan sekedar ‘asal bekerja’, berniat
membantu sesama, bukankah itu mulia?
Sedang jenis pekerjaan yang lalu mampu
dilakukan, tentu tak semua sesuai keinginan. Tak semua ibu bisa
mendapatkan penghasilan dengan cara persis seperti apa yang diimpikan.
Tapi demi membantu sesama, apa yang di depan mata, itulah cara Allah
mengantarkan rizki padanya. Lha opo kantore/juragane mbahe, bisa milih kerjaan sakpenake dhewe? Lantas sepanjang itu halal, kenapa diperdebatkan?
Ada kisah menarik yang ingin saya
ceritakan. Tentang bu A, ART yang biasa bekerja di rumah saya setiap
harinya lebih kurang 3 jam untuk mencuci, menyetrika & memasak;
pekan lalu minta diri. Dia mendapatkan tawaran untuk bekerja full time
di tetangga, tentu dengan gaji berlipat. Tawaran itu dia ambil, karena
dia memikirkan keinginan anaknya yang sebentar lagi lulus SMA, ingin
kuliah. Sementara dia berhitung dari penghasilannya dan penghasilan
suaminya yang tukang bubur ayam, belum mencukupi untuk itu. Padahal saya
tahu, fisik ibu ini sebenarnya agak lemah, sering sakit kalau
kecapekan. Tapi dia nekad menerima tawaran itu, agar anaknya nanti bisa
kuliah. Lalu, ART ini akan digantikan seorang ibu B, yang baru datang
dari kampungnya di Jawa Tengah. Suaminya stroke, sedang anak-anak tetap
butuh makan dan sekolah.
Jika bisa memilih, mungkin para ibu lebih
senang untuk mengelola uang pemberian suami, dan mengelola sebuah usaha
yg dapat dikelola dari rumah. Tetapi, kesempatan dan peluang tidak
berlaku seragam pada tiap orang. Maka apa yang dilakukan ibu A dan B,
juga banyak ibu bekerja lainnya, adalah justru wujud MENCINTAI anak-anaknya, wujud tanggung jawabnya pada keluarga.
Bekerja, adalah satu sarana mencintai anak-anak, dengan cara yang tak harus sama.
Pahala tetap tercurah karenanya, sebagaimana ibu yang stay di rumah
menemani anak-anaknya sepanjang waktu. Kecuali kalau ada ibu bekerja,
karena hanya tak betah di rumah saja, hanya untuk pergaulan, atau gengsi
semata. Nah yang seperti ini, biar Allah yang menghitung niatnya :)
Lalu, jika memang memilih sebagai ibu
bekerja, bersiap-siaplah untuk menjadi ibu yang tidak biasa. Berkurang
jadwal tidur kita, juga perlu ketahanan fisik di atas rata-rata, serta
mental baja. Salah satu sendi yang utama, tentu adalah keridhaan suami
belahan jiwa. Jika kerja tanpa seizinnya, jatuhnya tetap dosa.
Dibutuhkan komunikasi dan sinergi dengan suami yang sangat intens, agar
ibu bekerja dapat menjalankan amanahnya di rumah maupun di tempat kerja
dengan baik.
Saat ibu pulang kerja, bukan berarti
saatnya melepas penat seharian. Karena sejak di pagar rumah pun,
anak-anak berebut minta perhatian. Pun nanti saat suami datang, tetap
harus disambut dengan senyuman. Ibu bekerja harus mampu memilih ‘tombol mental‘ yang pas sesuai kondisi dia berada, sektor domestikkah, atau sektor publikkah.
Seorang ibu bekerja, perlu memastikan
bahwa sektor domestik bisa dikendalikan dengan baik, sebelum kakinya
melangkah ke sektor publik. Jika sektor domestik belum mampu ditangani
dengan baik, maka mungkin kita perlu memikirkan ulang, tentang jenis
pekerjaan yang lebih mungkin kita lakukan. Karena jika memaksakan diri,
ada pihak-pihak yang akan terzalimi, dan kedua sisi (domestik-publik)
tidak berjalan optimal. Sedang idealnya adalah kita bisa fokus, optimal
saat di rumah, juga optimal saat di tempat kerja. Bukan sebaliknya, di
rumah memikirkan pekerjaan, di tempat kerja memikirkan rumah. Sa’atan wa sa’atan,
masing-masing ada saatnya, dan itu perlu manajemen yang baik. Memang
tak mudah, namun harus diasah. Jika memang sulit, maka tak perlu
memaksakan diri. Kita masih bisa mencari peluang untuk tetap
beraktivitas dan bekerja, tanpa perlu banyak meninggalkan rumah.
Sekarang, saya ingin bahas ibu bekerja berkaitan dengan keselarasan antara sektor domestik (keluarga), sektor publik (pekerjaan) dan sektor langit
(bekal agama). Jadi, ada tiga sektor yang harus kita dudukkan, mana
yang lebih utama: sektor domestik, sektor publik, sektor langit. Maka,
jika ada benturan diantara ketiganya yang tak bisa lagi disiasati,
semoga kita tak salah memilih skala prioritas. Dua yang utama adalah
sektor langit dan sektor domestik, sedangkan yang satu, sektor publik,
sejatinya hanya pilihan, opsional, yang tidak boleh mengorbankan dua
sektor sebelumnya.
Seorang ibu bekerja, harus final dulu
pemahamannya tentang ini. Apalagi kalau dia memiliki tuntutan/kewajiban
untuk berkiprah sebagai salah satu unsur penggerak dakwah. No excuse.
Inilah yang saya maksudkan di atas, bahwa ibu bekerja perlu memiliki
mental baja, jadwal rehat yang lebih sedikit dari rerata ibu biasa. Jika
akhirnya sektor langit dan sektor domestik keteteran karena urusan sektor publik, sesungguhnya, kita belum terlalu siap mental untuk terjun di sektor publik.
Maka sungguh saya tak habis pikir, kalau
ada ibu yang bekerja full time di luar rumah, lalu sabtu ahad pun tidak
mau disibukkan dengan sektor langit dengan alasan, “Capek ah, saatnya istrahat“, atau “Maaf ya, tapi akhir pekan adalah family time bagi saya“.
Lebih saya tidak habis pikir lagi, jika ada suami yang membolehkan
istrinya bekerja setiap hari, tetapi justru melarang istrinya jika
sabtu/ahad pergi berdakwah atau mengaji.
Mari kita berpikir sejenak. Bukankah ibu
bekerja mau repot-repot keluar rumah untuk mencari ‘bekal’ yang secara
ekonomis akan membantu biaya dalam keluarga? Memastikan bahwa pendidikan
anak-anak terjamin, asupan gizi juga tercukupi, dan itu semua butuh
uang, lalu seorang ibu memutuskan untuk membantu suaminya dengan bekerja
juga.
Lalu, bukankah sektor langit juga sejatinya juga upaya mengumpulkan bekal, yang justru lebih abadi impact-nya dari sekedar bekal ekonomi? Jadi mestinya, justru karena kita sayang pada keluarga lah, dan tetap ingin terus bersama mereka meski nanti ajal memisahkan antar anggota keluarga, maka kita harus mengutamakan sektor langit. Karena dengan hanya mencari bekal untuk sektor langit lah, yang mampu memberikan jaminan bahwa keluarga ini akan tetap utuh meski secara jasad telah terpisahkan.
Lalu, bukankah sektor langit juga sejatinya juga upaya mengumpulkan bekal, yang justru lebih abadi impact-nya dari sekedar bekal ekonomi? Jadi mestinya, justru karena kita sayang pada keluarga lah, dan tetap ingin terus bersama mereka meski nanti ajal memisahkan antar anggota keluarga, maka kita harus mengutamakan sektor langit. Karena dengan hanya mencari bekal untuk sektor langit lah, yang mampu memberikan jaminan bahwa keluarga ini akan tetap utuh meski secara jasad telah terpisahkan.
Nah, lalu kalau saking sibuknya dengan
sektor publik, lalu sektor langit hanya menunggu sisa waktu luang, atau
menunggu mood datang, barangkali saatnya kita untuk berhenti sejenak.
Memikirkan ulang tentang hakikat kehidupan diri yang sejati: Apa yang sesungguhnya kita cari? Benarkah suasana seperti itu yang kita ingini?
‘Perhentian sejenak’ seperti ini memang
perlu sering dilakukan, supaya naluri kita tak mati rasa, dan kita
seolah-olah menjadi robot pekerja, yang tahu-tahu sudah tua dimakan
usia. Sia-sia umur kita berbilang tahun, tanpa bekal yang berarti untuk
keluarga. Padahal, niat awal kita bekerja, juga adalah demi cinta pada
keluarga.
Pada ibu bekerja, juga ada saatnya untuk
‘berubah pikiran’, mengkaji ulang, sesuai keadaan. Seorang teman kuliah
saya, di suatu sekolah kedinasan yang tomboy pwol, setelah
lulus bekerja dan berkeluarga bertahun-tahun, memilliki anak. Ternyata,
salah satu anaknya terindikasi autis. Dia memutuskan untuk cuti di luar
tanggungan negara selama 2 tahun untuk mendampingi anaknya itu yang
tentu sangat membutuhkannya. Saat cuti 2 tahun habis dan anaknya masih
sangat memerlukannya, maka dia memutuskan resign dari PNS. Sayangkah
dengan karirnya di PNS? Padahal instansinya dikenal dengan remunerasinya
yang ‘membikin cemburu banyak PNS’ lain? Tidak! Sektor domestik jauh
lebih utama untuk didahulukan.
Ada juga cerita lain. Istri mantan bos
suami, tampak begitu exciting saat saya membawa baby ke kantor suami.
Dia banyak memberikan nasehat ini itu, tentang kesehatan bayi, dengan
banyak istilah medis. Awalnya saya bingung, bukankah ibu ini FTM? Usut
punya usut, ternyata beliau dulu adalah bidan. Tetapi karena suaminya
seringkali dipindahtugaskan dan termasuk agak ‘rewel’ urusan makan
(pagi-siang-malam menu makanan harus beda), maka dia memutuskan untuk
resign dari bidan dan mendampingi suami kemanapun ditugaskan, termasuk
pindah tugas ke beberapa negara.
Ini gambaran, bahwa pilihan seseorang
bisa berubah menyesuaikan kondisi yang terjadi. Setinggi apapun capaian
di sektor publik, kadang ada kondisi di mana ibu bekerja perlu melakukan
evaluasi. Bisa karena dikaruniai ABK seperti teman saya itu, bisa juga
faktor suami, atau faktor orang tua yang semakin renta. Bisa juga ada
jenis pekerjaan yang lebih fleksibel. Evaluasi terus-menerus perlu
diperlukan, agar langkah ibu bekerja tidak kebablasan. Karir bukanlah Tuhan yang harus diutamakan, saat sektor domestik atau sektor langit lebih membutuhkan.
Justru, jika kita memberatkan pekerjaan,
barangkali perlu kita telisik lagi apa yang ada di hati: Benarkah aku
bekerja karena mencintai keluargaku? Atau karena aku memiliki ambisi
pribadi dalam pekerjaanku?
Sebagai seorang muslimah, sebagai penutup
tulisan ini saya juga ingin sedikit menulis tentang bagaimana kajian
tentang ibu bekerja dalam fiqh. Sebelumnya saya harus mengaku dulu bahwa
saya sama sekali bukan ahlinya. Tapi paling tidak kita bisa belajar
dari beberapa kisah pendahulu. Salah satunya adalah kisah dari sahabat
pemberani, putri dari sahabat terpercaya, Abu Bakar As-Shiddiq. Dialah
Asma binti Abu Bakar. Dia bercerita, saat dia sudah menikah dengan salah
satu mujahid gagah pujaan hatinya, “Ketika aku menikah dengan
Zubair, ia tidak memiliki harta sedikit pun, tidak memiliki tanah, tidak
memiliki pembantu untuk membantu pekerjaan, dan juga tidak memiliki
sesuatu apa pun. Hanya ada satu unta milikku yang biasa digunakan untuk
membawa air, juga seekor kuda. Dengan unta tersebut, kami dapat membawa
rumput dan lain-lainnya. Akulah yang menumbuk kurma untuk makanan
hewan-hewan tersebut. Aku sendirilah yang mengisi tempat air sampai
penuh. Apabila embernya peceh, aku sendirilah yang memperbaikinya.
Pekerjaan merawat kuda, seperti mencarikan rumput dan memberinya makan,
juga aku sendiri yang melakukannya. Semua pekerjaan yang paling sulit
bagiku adalah memberi makan kuda. Aku kurang pandai membuat roti. Untuk
membuat roti, biasanya aku hanya mencampurkan gandum dengan air,
kemudian kubawa kepada wanita tetangga, yaitu seorang wanita Anshar,
agar ia memasakkannya. Ia adalah seorang wanita yang ikhlas. Dialah yang
memasakkan roti untukku.”
Artinya apa? Bahwa Asma kurang pandai memasak, seperti saya #eh salah fokus :D
Maksudnya, bahwa Asma juga bekerja, bahkan hingga mencarikan rumput untuk ternaknya. Juga mengurusi kebun kurma, yang letaknya jauh dari rumahnya. Dan semua itu terjadi di zaman Rasul masih hidup, seperti yang dikisahkan oleh Asma, saat ia harus berjalan jauh berkilo-kilo dari kebun kurma menuju rumahnya, sambil membawa beban berat hasil panenan kurma, lalu bertemu rombongan Rasulullah di perjalanan. Rasul sempat menawarkan untuk menaiki salah satu onta di rombongannya, namun Asma menolaknya dan memilih tetap berjalan kaki, karena dia teringat dengan suaminya yang pencemburu. Sampai di rumah, ia berkisah pada suaminya “Tadi aku bertemu Rasulullah SAW ketika aku membawa kurma di atas kepalaku. Beliau disertai beberapa orang sahabat. Beliau menyuruh untanya duduk agar aku pergi bersamanya. Aku merasa malu dan teringat sifatmu yang pencemburu.”
Zubair pun menanggapi cerita istrinya, “Demi Allah, keadaanmu membawa kurma di atas kepala lebih memberatkan hatiku dari pada kau naik unta bersama beliau.”
Maka bagi saya, Asma adalah perempuan pemberani yang perkasa. Bayangkan, berjalan kaki sekitar 3,4 km dengan menyunggi berkilo-kilo kurma di kepala! Dan dia bekerja dengan keikhlasan yang luar biasa, tidak main ‘nebeng kendaraan’ teman suaminya, meski ditawari.
Maksudnya, bahwa Asma juga bekerja, bahkan hingga mencarikan rumput untuk ternaknya. Juga mengurusi kebun kurma, yang letaknya jauh dari rumahnya. Dan semua itu terjadi di zaman Rasul masih hidup, seperti yang dikisahkan oleh Asma, saat ia harus berjalan jauh berkilo-kilo dari kebun kurma menuju rumahnya, sambil membawa beban berat hasil panenan kurma, lalu bertemu rombongan Rasulullah di perjalanan. Rasul sempat menawarkan untuk menaiki salah satu onta di rombongannya, namun Asma menolaknya dan memilih tetap berjalan kaki, karena dia teringat dengan suaminya yang pencemburu. Sampai di rumah, ia berkisah pada suaminya “Tadi aku bertemu Rasulullah SAW ketika aku membawa kurma di atas kepalaku. Beliau disertai beberapa orang sahabat. Beliau menyuruh untanya duduk agar aku pergi bersamanya. Aku merasa malu dan teringat sifatmu yang pencemburu.”
Zubair pun menanggapi cerita istrinya, “Demi Allah, keadaanmu membawa kurma di atas kepala lebih memberatkan hatiku dari pada kau naik unta bersama beliau.”
Maka bagi saya, Asma adalah perempuan pemberani yang perkasa. Bayangkan, berjalan kaki sekitar 3,4 km dengan menyunggi berkilo-kilo kurma di kepala! Dan dia bekerja dengan keikhlasan yang luar biasa, tidak main ‘nebeng kendaraan’ teman suaminya, meski ditawari.
Kita juga bisa belajar dari kisah
perempuan agung istri Rasulullah yang pertama, Hadijah RA. Bukankah
beliau seorang pengusaha perempuan yang sukses go international
hingga akhir hayatnya? Yang lalu memberikan banyak harta, bahkan hampir
seluruhnya, untuk dakwah suaminya? Kita juga bisa belajar dari Ummu
Fadhoh, seorang perempuan paruh baya yang bekerja di rumah Fatimah binti
Muhammad, istri Ali.
Artinya, pekerjaan-pekerjaan yang
dilakukan oleh ibu rumah tangga semacam ini di luar rumahnya, wajar
saja. Asal memang kita memenuhi aturannya secara syar’i. Apa saja itu?
Terlalu panjang jika harus dikupas di sini, dan sudah banyak pula yang
membahasnya. Silahkan gugling sendiri ya :)
Selain itu, ada juga kaidah tentang hasil dari pekerjaan seorang istri, ”Khusus
masalah penghasilan istri yang bekerja, semuanya menjadi haknya. Suami
tidak boleh mengambil harta itu sedikitpun, kecuali dengan kerelaan hati
istrinya.” (Fatwa Islam, no. 126316) . Artinya apa dong? Ya
artinya bahwa jika ada kajian tentang pengelolaan penghasilan istri,
berarti bekerjanya pun bukan suatu larangan (dengan syarat tertentu).
Analoginya begini. Maling itu tindakan yang jelas dilarang, haram. Maka
tidak ada pembahasan khusus tentang duit hasil permalingan, yang memang
sudah jelas-jelas haram, karena pekerjaanya pun memang haram.
Mungkin tulisan ini masih jauh dari
sempurna, karena memang banyak sekali aspek-aspek yang harus kita bahas
lagi. Silahkan jika ada yang ingin melengkapi baik di komentar atau
postingan dengan topik yang sama. Spirit tulisan ini sekali lagi adalah
agar kita mencoba saling memahami. Akan menjadi ibu yang bekerja di luar
rumah (WM) atau menjadi ibu yang full dirumah (FTM), semuanya
dikembalikan pada pilihan masing-masing, dan semuanya memiliki tanggung
jawab yang tidak ringan.
Sebagai penutup tulisan ini, ada baiknya
kita menilik saling korespondensi yang begitu apik antara seorang ibu
bekerja dan ibu rumah tangga, di sini. Sungguh, semangat yang perlu kita tiru untuk saling bersinergi, bukan menghakimi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar