MAKALAH
ETIKA DAN HUKUM KESEHATAN
|
Disusun oleh:Yulita basilia(14150091)
kelas :A11.3
PRODI D III KEBIDANAN
UNIVERSITAS
RESPATI YOGYAKARTA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat
yang diberikan kepada kami, sehingga dapat menyelesaikan Makalah Etika dan
Hukum Kesehatan ini dengan baik dan tepat pada waktunya. Kami juga mengucap
terima kasih kepada Dosen mata kuliah Etika dan Hukum Kesehatan,yaitu Bapak Tri Suyud Nusanto, SH., SSi.,MA.,MM. karena
telah membantu kami dalam pemahaman konsep pembuatan makalah ini.
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, bukan hanya
penulis tetapi juga pembaca.Makalah yang kami
buat mungkin belum sempurna tetapi dengan kata-kata kami, pembaca akan
mudah memahaminya. Sekian dan Terima Kasih.
Yogyakarta,
31 Desember 2014
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………………………………
Daftar Isi…………………………………………………………………………………………………
Bab I : Pendahuluan ………………………………………………………………………………..
1.1
Pendahuluan
A. Pengertian…………………………………………………………………………………
B. Persyaratan
………………………………………………………………………………
C. Tata Laksana………………………………………………………………………………
1.2 . Aspek
hukum kesehatan lingkungan…………………………………………………
1.3 Aspek hukum
penyakit Menular………………………………………………………...
Bab II :
Pembahasan…………………………………………………………………………………
2.1 Pembahasan ……………………………………………………………………………………
1. Kasus……………………………………………………………………………………………
2.2 Analisis……………………………………………………………………………………………
2.3 Tinjauan aspek Hukum Persyaratan terhadap
pelanggar…………………….
2.4 Pengertian Kesehatan Lingkungan…………………………………………………….
2.5 Sanksi Hukum Bagi Pelanggar……………………………………………………………
2.6 Usaha-usaha dalam kesehatan…………………………………………………………...
2.7 Dasar Hukum :
Undang-Undang Kesehatan RI No.23 Tahun 1992….
Bab III : Penutup ………………………………………………………………………………….
3.1 Saran………………………………………………………………………………………………
3.2 Kesimpulan…………………………………………………………………………………….
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………………
BAB I
1.1 PENDAHULUAN
KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR:
1204/MENKES/SK/X/2004
TENTANG
‘PERSYARATAN KESEHATAN LINGKUNGAN RUMAH SAKIT’
I.
PERSYARATAN RUANG BANGUNAN DAN
HALAMAN RUMAH SAKIT
II.
PERSYARATAN HYGIENE DAN
SANITASI MAKANAN MINUMAN
III.
PENYEHATAN AIR
IV.
PENGELOLAAN
LIMBAH
V.
PENGELOLAAN TEMPAT PENCUCIAN
LINEN (LAUNDRY)
VI.
PENGENDALIAN SERANGGA, TIKUS
DAN BINATANG PENGGANGGU LAINNYA
VII.
DEKONTAMINASI MELALUI
DISINFEKSI DAN STERILISASI
VIII.
PERSYARATAN PENGAMANAN RADIASI
XI. PROMOSI KESEHATAN DARI ASPEK
KESEHATAN
LINGKUNGAN
I.
PENGELOLAAN
LIMBAH
A. Pengertian
1.
Limbah rumah sakit adalah semua limbah yang dihasilkan dari kegiatan rumah
sakit dalam bentuk padat, cair, dan gas.
2.
Limbah padat rumah sakit adalah semua limbah rumah sakit yang berbentuk padat
sebagai akibat kegiatan rumah sakit yang
terdiri
dari limbah medis padat dan non-medis.
3.
Limbah medis padat adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius,
limbah patologi, limbah benda tajam, limbah
farmasi,
limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan,
dan limbah dengan kandungan logam
berat
yang tinggi.
4.
Limbah padat non-medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di
rumah sakit di luar medis yang berasal dari dapur,
perkantoran,
taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya.
5.
Limbah cair adalah semua air buangan termasuk tinja yang berasal dari kegiatan
rumah sakit yang kemungkinan mengandung
mikroorganisme,
bahan kimia beracun dan radioaktif yang berbahaya bagi kesehatan.
6. Limbah gas adalah semua limbah
yang berbentuk gas yang berasal dari kegiatan pembakaran di rumah sakit seperti
incinerator7. Limbah infeksius adalah limbah yang terkontaminasi organisme
patogen yang tidak secara rutin ada di lingkungan dan organismetersebut dalam
jumlah dan virulensi yang cukup untuk menularkan penyakit pada manusia rentan. 8.
Limbah sangat infeksius adalah limbah berasal dari pembiakan dan stock bahan
sangat infeksius, otopsi, organ binatangpercobaan dan bahan lain yang telah
diinokulasi, terinfeksi atau kontak dengan bahan yang sangat infeksius.
9.
Limbah sitotoksis adalah limbah dari bahan yang terkontaminasi dari persiapan
dan pemberian obat sitotoksis untuk kemoterapi
kanker
yang mempunyai kemampuan untuk membunuh atau menghambat pertumbuhan sel hidup.
10.
Minimasi limbah adalah upaya yang dilakukan rumah sakit untuk mengurangi jumlah
limbah yang dihasilkan dengan cara
mengurangi bahan (reduce),
menggunakan kembali limbah (reuse) dan daur ulang limbah (recycle).
B. PERSYARATAN
1. Limbah Medis Padat
a. Minimasi Limbah
1)
Setiap rumah sakit harus melakukan reduksi limbah dimulai dari sumber.
2)
Setiap rumah sakit harus mengelola dan mengawasi penggunaan bahan kimia yang
berbahaya dan beracun.
3)
Setiap rumah sakit harus melakukan pengelolaan stok bahan kimia dan farmasi.
4)
Setiap peralatan yang digunakan dalam pengelolaan limbah medis mulai dari
pengumpulan, pengangkutan, dan
pemusnahan
harus melalui sertifikasi dari pihak yang berwenang.
b. Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan Kembali dan Daur Ulang
1)
Pemilahan limbah harus dilakukan mulai dari sumber yang menghasilkan limbah
2)
Limbah yang akan dimanfaatkan kembali harus dipisahkan dari limbah yang tidak
dimanfaatkan kembali.
3)
Limbah benda tajam harus dikumpulkan dalam satu wadah tanpa memperhatikan terkontaminasi
atau tidaknya. Wadah
tersebut
harus anti bocor, anti tusuk dan tidak mudah untuk dibuka sehingga orang yang
tidak berkepentingan tidak
dapat
membukanya.
4)
Jarum dan syringes harus dipisahkan sehingga tidak
dapat digunakan kembali.
5)
Limbah medis padat yang akan dimanfaatkan kembali harus melalui proses
sterilisasi sesuai Tabel I.10. Untuk menguji
efektifitas sterilisasi panas
harus dilakukan tes Bacillus stearothermophilus dan untuk sterilisasi kimia harus dilakukan tes Bacillus subtilis.
Tabel
10
Metode Sterilisasi Untuk Limbah
yang Dimanfaatkan Kembali
Metode
Sterilisasi
|
Suhu
|
Waktu kontak
|
Sterilisasi
dengan panas
-
Sterilisasi kering dalam oven
”Poupinel”
-
Sterilisasi basah dalam otoklaf
Sterilisasi
dengan bahan kimia
-
Ethylene oxide (gas)
- Glutaraldehyde (cair)
|
160C
170C
121C
50C - 60C
|
120
menit
60
menit
30
menit
3
– 8 jam
30 menit
|
6)
Limbah jarum hipodermik tidak dianjurkan untuk dimanfaatkan kembali. Apabila
rumah sakit tidak mempunyai jarum
yang
sekali pakai (disposable), limbah jarum hipodermik
dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui proses salah satu
metode
sterilisasi pada Tabel I.10
7)
Pewadahan limbah medis padat harus memenuhi persyaratan dengan penggunaan wadah
dan label seperti Tabel I.11
8) Daur ulang tidak bisa
dilakukan oleh rumah sakit kecuali untuk pemulihan perak yang dihasilkan dari
proses film sinar X.
9) Limbah sitotoksis
dikumpulkan dalam wadah yang kuat, anti bocor, dan diberi label bertuliskan ”
Limbah Sitotoksis”.
Tabel
I.11
Jenis Wadah dan label Limbah
Medis Padat Sesuai Kategorinya
No
|
Kategori
|
Warna Kontainer/
Kantong Plastik
|
Lambang
|
Keterangan
|
1
|
Radioaktif
|
Merah
|
|
-
Kantong boks timbal dengan
simbol radioaktif
|
2
|
Sangat Infeksius
|
Kuning
|
|
-Kantong
plastik kuat, anti
bocor,
atau kontainer yang
dapat
disterilisasi dengan
otoklaf
|
3
|
3
Limbah
Infeksius,
patologi dan anatomi
|
Kuning
|
|
-Kantong
plastik kuat dan anti
bocor, atau kontainer
|
4
|
Sitotoksis
|
Ungu
|
|
-
Kontainer plastik kuat dan anti
bocor
|
5
|
Limbah
kimia dan
farmasi
|
Coklat
|
-
|
-Kantong plastikatau kontainer
|
c. Pengumpulan, Pengangkutan, dan Penyimpanan Limbah Media Padat
di Lingkungan Rumah Sakit
1)
Pengumpulan limbah medis padat dari setiap ruangan penghasil limbah menggunakan
troli khusus yang tertutup.
2)
Penyimpanan limbah medis padat harus sesuai iklim tropis yaitu pada musim hujan
paling lama 48 jam dan musim
kemarau
paling lama 24 jam.
d. Pengumpulan, Pengemasan dan Pengangkutan ke Luar Rumah Sakit
1)
Pengelola harus mengumpulkan dan mengmas pada tempat yang kuat.
2)
Pengangkutan limbah ke luar rumah sakit menggunakan kendaraan khusus.
e. Pengolahan
dan Pemusnahan
1)
Limbah medis padat tidak diperbolehkan membuang langsung ke tempat pembuangan
akhir limbah domestik sebelum
aman
bagi kesehatan.
2)
Cara dan teknologi pengolahan atau pemusnahan limbah medis padat disesuaikan
dengan kemampuan rumah sakit dan
jenis
limbah medis padat yang ada, dengan pemanasan menggunakan otoklaf atau dengan
pembakaran menggunakan
insinerator.
C. Tata Laksana
1. Limbah Medis Padat
a. Minimisasi Limbah
1)
Menyeleksi bahan-bahan yang kurang menghasilkan limbah sebelum membelinya.
2)
Menggunakan sedikit mungkin bahan-bahan kimia.
3)
Mengutamakan metode pembersihan secara fisik daripada secara kimiawi.
4)
Mencegah bahan-bahan yang dapat menjadi limbah seperti dalam kegiatan perawatan
dan kebersihan.
5)
Memonitor alur penggunaan bahan kimia dari bahan baku sampai menjadi limbah
bahan berbahaya dan beracun.
6)
Memesan bahan-bahan sesuai kebutuhan
7)
Menggunakan bahan-bahan yang diproduksi lebih awal untuk menghindari
kadaluarsa.
8)
Menghabiskan bahan dari setiap kemasan
9)
Mengecek tanggal kadaluarsa bahan-bahan pada saat diantar oleh distributor.
b. Pemilahan, Pewadahan, Pemanfaatan Kembali dan Daur Ulang
1)
Dilakukan pemilahan jenis limbah medis padat mulai dari sumber yang terdiri
dari limbah infeksius, limbah patologi,
limbah
benda tajam, limbah farmasi, limbah sototksis, limbah kimiawi, limbah
radioaktif, limbah kontainer bertekanan,
dan
limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi.
2)
Tempat pewadahan limbah medis padat :
-
Terbuat dari bahan yang kuat, cuup ringan, tahan karat, kedap air, dan
mempunyai permukaan yang halus pada bagian
dalamnya,
misalnya fiberglass.
-
Di setiap sumber penghasil limbah medis harus tersedia tempat pewadahan yang
terpisah dengan limbah padat nonmedis.
-
Kantong plastik diangkat setiap haru atau kurang sehari apabila 2/3 bagian
telah terisi limbah.
-
Untuk benda-benda tajam hendaknya ditampung pada tempat khusus (safety
box) seperti botol atau karton yang aman.
-
Tempat pewadahan limbah medis padat infeksius dan sitotoksik yang tidak
langsung kontak dengan limbah harus segera
dibersihkan
dengan larutan disinfektan apabila akan dipergunakan kembali, sedangkan untuk
kantong plastik yang
telah
dipakai dan kontak langsung dengan limbah tersebut tidak boleh digunakan lagi.
3)
Bahan atau alat yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui sterilisasi
meliputi pisau bedah (scalpel),
jarum
hipodermik,
syringes, botol gelas, dan kontainer.
4)
Alat-alat lain yang dapat dimanfaatkan kembali setelah melalui sterilisasi
adalah radionukleida yang telah diatur tahan
lama
untuk radioterapi seperti puns,
needles, atau seeds.
5)
Apabila sterilisasi yang dilakukan adalah sterilisasi dengan ethylene
oxide, maka tangki reactor harus dikeringkan
sebelum
dilakukan injeksi ethylene oxide.
Oleh karena gas tersebut sangat berbahaya, maka sterilisasi harus dilakukan
oleh
petugas yang terlatih. Sedangkan sterilisasi dengan glutaraldehyde
lebih aman dalam pengoperasiannya tetapi
kurang
efektif secara mikrobiologi.
6)
Upaya khsus harus dilakukan apabila terbukti ada kasus pencemaran spongiform
encephalopathies.
c. Tempat Penampungan Sementara
1)
Bagi rumah sakit yang mempunyai insinerator di lingkungannya harus membakar
limbahnya selambat-lambatnya 24 jam.
2)
Bagi rumah sakit yang tidak mempunyai insinerator, maka limbah medis padatnya
harus dimusnahkan melalui kerjasama
dengan
rumah sakit lain atau pihak lain yang mempunyai insinerator untuk dilakukan
pemusnahan selambat-lambatnya 24
jam
apabila disimpan pada suhu ruang.
d. Transportasi 1) Kantong limbah medis padat sebelum dimasukkan ke kendaraan
pengangkut harus diletakkan dalam kontainer yang kuatdan tertutup.2) Kantong
limbah medis padat harus aman dari jangkauan manusia maupun binatang. 3) Petugas yang menangani limbah, harus menggunakan alat
pelindung diri yang terdiri :
a)
Topi/helm;
b)
Masker;
c)
Pelindung mata;
d)
Pakaian panjang (coverall);
e)
Apron untuk industri;
f)
Pelindung kaki/sepatu boot; dan
g)
Sarung tangan khusus (disposable gloves atau
heavy duty gloves)
e. Pengolahan, Pemusnahan, dan Pembuangan Akhir Limbah Padat
1) Limbah Infeksius dan Benda Tajam
a)
Limbah yang sangat infeksius seperti biakan dan persediaan agen infeksius dari laboratorium
harus disterilisasi
dengan
pengolahan panas dan basah seperti dalam autoclave
sedini mungkin. Untuk limbah infeksius yang lain cukup
dengan
cara disinfeksi.
b)
Benda tajam harus diolah dengan insinerator bila memungkinkan, dan dapat diolah
bersama dengan limbah infeksius
lainnya.
Kapsulisasi juga cocok untuk benda tajam.
c)
Setelah insinerasi atau disinfeksi, residunya dapat dibuang ke tempat
pembuangan B3 atau dibuang ke landfill jika
residunya
sudah aman.
5. Pengelolaan limbah medis rumah sakit secara rinci mengacu
pada pedoman pengelolaan limbah medis sarana pelayanan
kesehatan.
1.2 ASPEK HUKUM KESEHATAN
LINGKUNGAN
A.KESEHATAN LINGKUNGAN
Derajat kesehatan masyarakat
dipengaruhi oleh empat factor utama, yakni lingkungan, perilaku, pelayanan
kesehatan, dan keturunan atau hereditas (blum, 1974). Lingkungan sebagai factor yang paling besar pengaruhnya terhadap
kesehatan, tidak hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga lingkungan nonfisik
:social,budaya, ekonomi, politik, dan seterusnya. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan tentang
lingkungan fisik saja. Lebih spesifik lagi adalah yang sangat erat kaitannya dengan
kesehatan atau yang sering disebut kesehatan lingkungan.
1. Undang-undang No. 11 tahun 1962
Sebelum
istilah kesehatan lingkungan digunakan pada saat ini,dalam UU No 11 Tahun 1962
menggunakan istilah hygiene. Dalam undang-undang tersebut yang dimaksud
denganhiegene adalah segala upaya untuk memelihara dan mempertimbangkan derajat
kesehatan. Dalam undang-undang ini juga disebutkan bahwa hygiene adalah
kesehatan masyarakat yang khusus meliputi segala usaha untuk melindungi, memelihara, dan mempertinggi derajat
kesehatan dengan tujuan memberi dasar-dasar kelanjutan hidup yang sehat serta
mempertinggi kesejahteraan dan daya guna perikehidupan manusia.
Dalam
undang-undang ini dijelaskan dasar pertimbangan perlunya undang-undang ini adalah untuk memelihara dan mempertinggi
kesehatan rakyat. Undang-undang ini mengatur khusus untuk usaha-usaha bagi
umum, yang meliputi antara lain
a. Higiene air, susu, makanan, dan minuman untuk konsumsi bagi umum perlu diawasi mutu kesehatannya, tidak
mengandung kiman penyakit, zat-zat racun,dan sebagainya
b. Hygiene perusahan-perusahaan dan lingkungannya perlu memenuhi
syarat-syarat mutu kesehatan agar karyawan tidak mudah mengalami bahaya dan
bekerja dalam suasana yang sehat.
c. Higiene bangunan-bangunan
umum,seperti stasiun, pelabuhan,bioskop, sekolah, dan lain-lain harus memenuhi
syarat-syarat kesehatan seperti ventilasi, kebersihan,dan sebagainya.
d. Hygiene tempat pemandian umum, harus bersih dan sehat serta aman
dari penularan dan penyebaran penyakit menular.
e. Hygiene alat-alat pengangkutan umum seperti kereta api, bus,
kapal, pesawat terbang, dan lain-lain perlu memenuhi syarat-syarat kesehatan.
2. Undang-undang No. 2 Tahun 1966
Dalam
undang-undang, ini jelaskan istilah hygiene digunakan untuk mencakup seluruh
usaha manusia maupun masyarakat yang perlu dijalankan guna mempertahankan dan
memgembangkan kesejahteraan di dalam lingkungan yang bersifat badan dan jiwa
maupun social. Ketentuan tentang usaha-usaha di bidang hygiene dan pelaksanaan
usaha tersebut antara lain:
a. Masyarakat harus mengnerti dan sadar akan pentingnya keadaan
yang sehat, baik kesehatan pribadi,maupun kesehatan masyarakat.
b. Pemerintah harus memberikan pelayanan di bidang kesehatan bagi
masyarakat.
3. Undang-Undang No 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan
Lingkungan Hidup
Dalam
undang-undang ini diijelaskan bahwa kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi
lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologis yang dinamis antara
manusia dan lingkungan untukk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat, sejahtera
dan bahagia.
Secara
lebih jelas, jelas bagi ketentuan hokum tentang kesehatan lingkungan, dapat
diuraikan di bawah ini:
4. Undang-Undang Kesehatan No. 23
Tahun 1992
Undang-undang
kesehatan ini berupaya menghimpun ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan
pelayanan kesehatan menjadi satu, sehingga dengan demikian tidak tersebar di
beberapa undang-undang seperti sebelumnya.Kesehatan lingkungan dalam undang-undang seperti sebelumnya.
Kesehatan lingkungan dalam undang-undang ini termasuk dalam bab mengenai upaya
kesehatan. Pasal 22 meneyebutkan tentang kesehatan lingkungan sebagai berikut :
1. Kesehatan lingkungan dilaksanakan terhadap tempat umum, lingkkungan pemukiman, lingkungan kerja
angkutan umum dan lingkungan lainnya.
2. Kesekehatan lingkungan meliputi penyehatan air dan udara,
pengalaman limbah padat, limbah cair, limbah gas, radiasi dan kebisingan,
pengendalian vector penyakit dam penyehatan atau pengamanan lainnya.
3. Setiap tempat atau sarana pelayanan umum wajib memelihara dan
meningkatkan lingkungan yang sehat sesuai standar pelayanan.
Ketentuan-ketentuan di atas dapat lebih dijelaskan bahwa :
a. Untuk mencapai kesehatan masyarakat yang optimal perlu
ditingkatkan sanitasi lingkungan baik pada lingkungan tempatnya maupun terhadap
wujud atau bentuk substansinya yang berupa fisik, kimiawi, atau biologic,
termasuk perubahan perilaku.
b. Mengenai tempat umum dimaksudkan antara lain hotel, pasar
pertokoan, pasar swalayan, mall, bioskop dan lain-lain. Demikian pula dengan
lingkungan kerja, lingkungan pemukiman, dan angkutan umum.
c. Penyehatan air dan udara
untuk meningkatkan kualitasm termasuk penekanan pada masalah polusi.
Pengamatan ditujukanpada limbah padat,
cair, dan gas serta pengamanan terhadap limbah yang berasal dari rumah tangga dan industry. Pengamatan ditujukan
pula pada penetapan standar pengamanan tegangan tinggi, sinar radiotatif, sinar
infra merah dan ultra violet, alat yang mmenghasilkan radioaktif, gelombang
elektronik, dan sebagainya.
d. Pengamanan terhadap ambang batas bising yang dapat mengganggu
kesehatan di pabrik-pabrik serta pengendalian vector penyakit dari binatang
pembawa penyakit seperti serangga dan binatang pengerat.
Dalam undang-undang No. 36
tahun 2009 rtidak diberikan batasan yentang kesehatan lingkungan ditujukan
untuk mewujudkan kualitas lingkungan yang sehat, baik fisik, kimia,biologi,
maupun social yang memungkinkan setiap orang mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Ketentuan lain yang diatur dalam undang-undang ini (pasal
163) antara lain disebutkan sebagai berikut :
1. Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat menjamin
ketersedian lingkungan yang sehat dan tidk mempunyai risiko buruk baggi kesehatan .
2. Lingkungan sehat tersebut mencakup lingkungan pemukiman, tempat
kerja, tempat rekreasii, dan fasilitas umum.
3. Lingkungan sehat di berbagai tempat atau tatanan ini hendaknya
bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguang kesehatan, antara lain :
a. Limbah cair
b. Limbah padat
c. Limbah gas
d. Sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang
ditetapkan pemerintah
e. Binatang pembawa penyakit
f. Zat kimia yang berbahaya
g. Kebisingan yang melebihi ambang batas
h. Radiasis sinar pengion dan nonpengion
i.
Air yang
tercemar
j.
Udara yang
tercemar:
k. Makanan yang terkontaminasi
1.3
ASPEK
HUKUM PENYAKIT MENULAR
Pencegahan, pengendalian dan pemberantasan
penyakit menular secara hukum merupakan
tanggung jawab dan kewajiban pemerintah.
Hal ini tersirat dalam UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal
135-136, yang antara lain menyebutkan :
a. Pemerintah menjamin ketersediaan bahan imunisasi yang aman,
bermutu, efektif, terjangkau, dan merata bagi masyarakat untuk upaya
pengendalian penyakit menular melalui imunasasi.
b. Pemerintah, pemerintah daerah secara berkala menetapkan dan
mengumumkan jenis dan persebaran penyakit yang berpotensi menular dan atau
menyebar dalam waktu yang singkat, serta menyebutkan daerah yang dapat menjadi
sumber penularan.
c. Pemerintah, pemerintah daerah dapat melakukan surveilans
terhadap suatu pennyakit menular
d. Dalam melakukan surveilans pemerintah atau pemerintah daerahh
dapat melakukan kerja sama dengan masyarakat
e. Pemerintah, pemerintahh daerah menetapkan jenis penyakit yang
memerlukan karantina, tempat karantina,
dan lama karantina.
f. Pemerintah, pemerintah daerah dalam menetapkan dan menular dan
atau menyebar dalam waktu singkat dan pelaksanaan surveilans serta menetapkan
jenis pennyakit yang memerlukan karantina, tempat karantina, dan lama karantina
berpedoman pada ketentuan yang berlaku.
1. Ketentuan tentang Wabah
Dalam rangka mengendalikan
penyakit-penyakit menular terutama penyakit-penyakit yang berpotensi untuk menimbulkan wabah,
pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.4 Tahun 1984 tentang Wabah dan
Penyakit Menular. Ketentuan tentang wabah dalam undang-undang tersebut antara
lain sebagai berikut :
a. Yang dimaksud degan wabah dan penyakit menular adalah
berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah penderitanya
meningkat secara nyata melebihi dari
biasana. Kondisi semacam ini disebut “KLB” atau kejadian luar biasa (outbreak).
b. Pihak-pihak yang mempunyai kewajiban dan kewajiban dan tanggung
jawab terjadinya wabah yang paling depan
(front line) adalah ketua RT/RW. Dan luurah yang wilayahnya terkena melaporkan
kejadian ini (wabah) kepada Unit Kesehatan terdekat dalam waktu secepatnya.
c. Penyakit-penyakit yang
berpotensi menimbulkan wabah adalah kolera, pes, demam kuningm demam berdarah,
tifus, campak, polio, pertusis, malaria, rabies, dan antrax.
Dalam Undang-Undang Kesehatan No.36 Tahun 2004, ketentuan
tentang wabah disebutkan pada pasal 156, yakni:
a. Dalam melaksanakan upaya pencegahan, peengendalian, dan
pemberantasan penyakit menular, pemerintah dapat menyatakan wilayah dalam
keadaan atau kejadian wabah, letusan,
atau kejadian luar biasa (KLB)
b. Penentuan wilayah dalam keadaan wabaah, letusan, atau kejadian luar biasa iniharus dilakukan
berdasarkan hasil penelitian diakui
keakuratannya.
c. Pemerintah, pemerintah ddaerah dan masyarakat melakukan upaya
penanggulangan keadaan wabah, letusan, atau kejadian luar biasa tersebut
d. Penentuan wilayah dalam
keadaan wabah, letusan, atau kejadian
luar biasa dan upaya penanggulangan, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangan yang berlaku
BAB II
2.1 PEMBAHASAN
KASUS
RSUD Sidoarjo Ketahuan Buang Limbah B3 Sembarangan
RSUD Sidoarjo Ketahuan Buang Limbah B3 Sembarangan
TRIBUNNEWS.COM,
SURABAYA --RSUD Sidoarjo ketahuan membuang limbah B3 (Bahan Berbahaya dan
Beracun) berupa limbah rumah sakit
sembarangan.Permasalahan ini sudah tercium polisi, dan kasusnya sedang dalam
penanganan Polda Jatim.
“Masih
dalam penyelidikan. Tapi kami belum bisa menjelaskan secara detail persoalannya
karena masih proses penyilidikan,” jawab Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Awi
Setiyono saat dikonfirmasi, Senin (15/7/2013) petang.
Informasi
yang berhasil dihimpun, kasus ini mulai ditangani oleh Polda Jatim sejak 4 Juli
lalu.Dalam penyelidikan, polisi menemukan bahwa limbah rumah sakit di RSUD Sidoarjo dialihkan ke pihak
ketiga.Anehnya, pihak yang diserahi limbah berbahaya itu tidak
mengantongi izin.
Limbah
itu biasa dikeluarkan dari rumah sakit ke pihak ketiga dengan diangkut
menggunakan truk.Limbah ini berupa bekas potongan alat suntik, kasa, juriken,
bekas operasi seperti potongan daging, darah, dan sebagainya dari pasien.
Pihak
rumah sakit maupun pihak ketiga yang menangani limbah ini diduga melanggar Pasal
102 dan 103 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup.
Alasannya, pihak rumah sakit mestinya menggunakan insenerator (Incinerator adalah suatu alat
pembakar sampah yang di operasikan dengan menggunakan teknologi pemhakaran pada
suhu tertentu, sehingga sampah dapat terbakar habis. )untuk penanganan limbah atau mengirim limbah B3 ke pihak yang berwenang
dan memiliki izin dari pemerintah.
Sementara
si pihak ketiga, diduga melanggar lantaran tidak mengantongi izin.Pihak ketiga
ini bukan perusahaan, melainkan perorangan. Dan kabarnya, oleh pihak ketiga
tersebut, limbah B3 dari RSUD Sidoarjo dijual lagi ke pihak lain.
Sejauh
ini, sudah ada delapan orang yang menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polda
Jatim terkait kasus tersebut.Termasuk pihak rumah sakit dan pihak ketiga yang
menangani limbah itu.Namun, semua sebatas
saksi.Belum ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Satu
truk berisi limbah sempat diamankan
polisi.Sekarang, truk berisi limbah B3 dari rumah sakit itu
telah dikirim ke Tangerang, Jawa Barat. Alasannya, di Indonesia baru ada lima
tempat yang bisa menangani. Dan di Jawa Timur sejauh ini belum ada tempat
penanganan limbah B3 rumah sakit seperti itu.
(M Taufik)
2.2 ANALISIS
·
ETIKA Menurut
Rosita
noer
Etika adalah ajaran (normatif) dan pengetahuan (positif) tentang yang baik dan yang buruk, menjadi tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
Etika adalah ajaran (normatif) dan pengetahuan (positif) tentang yang baik dan yang buruk, menjadi tuntutan untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik.
·
HUKUM
Menurut
Paul
Scholten Suatu petunjuk
tentang apa yang layak dilakukan dan apa yang tidak layak dilakukan, yang
bersifat perintah.
Menurut Kelompok :
Kasus yang diambil
dapat dilihat bahwa RSUD
Sidoarjotelah melanggar
aturan atau tidak melakukan persyaratan kesehatan lingkungan yang telah tercantum
dalam Kepmenkes 1204 Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkunganpoint
ke IV tentang pengolahan limbah Infeksius, karenalimbah Infeksius (limbah padat medis) rumah sakit
di RSUD
Sidoarjo dialihkan ke pihak ketiga. Anehnya, pihak
yang diserahi limbah berbahaya itu tidak mengantongi izin, dan
Pihak rumah sakit maupun pihak ketiga yang menangani limbah ini diduga melanggarPasal 102 dan 103 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Lingkungan Hidup.
Pasal 102
Setiap
orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 103
Setiap
orang yangmenghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
Sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).Seharusnya limbah tersebut harus ditangani oleh pihak yang
berwenang.Izin mengenai persyaratan
lingkungan secara tidak langsung terdapat pada pasal 16
Undang-Undang No 4 Tahun 1982(Pasal 16 : Setiap rencana yang diperkirakan mempunyai
dampak penting terhadap lingkungan wajib dilengkapi dengan analisis mengenai
dampak lingkungan yang pelaksanaannya diatur dengan peraturan pemerintah.)dan PP No.51 Tahun 1993, Dan juga pada
pasal 7,17 dan 26 Peraturan Pemerintah No.26 Tahun 1990 juga mengatur izin
pembuangan limbah,;Dan
juga Yang paling mendeteil mengenai Perizinan terdapat dalam Peraturan
Menteri Negara Lingkungan Hidup tentang Tata Cara Perizian Pengelolaan Limbah
Bahan Berbahaya dan Beracun,dan
juga PP No 85 Tahun 1999 Bab V Tentang
Tata Laksana Bagian Pertama Perizinan Pasal 40. Serta tidak sesuai dengan Etika dan Hukum.‘Etika’:
mereka seharusnya sudah mengetahui dampak dari pembuangan limbah tersebut
tetapi masih saja melakukannya, hal ini menunjukan ajaran yang buruk dan
menimbulkan kehidupan yang tidak layak karena limbah tersebut bisa membawa
dampak negative bagi kesehatan masyarakat,dan juga vektor. Serta ‘Hukum’: sudah
tertera dalam Keputusan Menteri Kesehatan 1204
Tahun 2004 tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan pada poin ke IV, Karena
Limbah ini sudah termasuk dalam limbah medis, tetapi RSUD Sidoarjo melanggar apa yang seharusnya tidak
boleh dilakukan.Menurut kami mereka tidak melakukan izin karena dalam suatu
proses permohonan izin akan di minta biaya kepada pemohon izin sesuai dengan PP No 85 Tahun 1999 Bab V Bagian
keenam Pembiayaan Pasal 61, sehingga pelanggaran PP tersebut dapat terjadi. Dan
juga kemauan yang tidak serius.
Cara
Mengatasinya
Dengan mengikuti peraturan
pemerintah yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No 85 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, pada Bab I yaitu
Ketentuan Umum,
Pasal 1 ayat :
3.Pengelolaan
limbah B3 adalah rangkaian kegiatan yang mencakup reduksi,
penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan
penimbunan limbah
B3;
4.Reduksi limbah
B3 adalah suatu kegiatan pada penghasil untuk mengurangi jumlah danmengurangi
sifat bahaya dan racun limbah B3, sebelum dihasilkan dari suatu kegiatan
15.Pemanfaatan
limbah B3 adalah suatu kegiatan perolehan kembali (recovery) dan/ataupenggunaan
kembali (reuse) dan/atau daur ulang(recycle)yang bertujuan untukmengubah limbah
B3 menjadi suatu produk yang dapat digunakan dan harus juga amanbagi lingkungan
dan kesehatan manusia;
2.3
Tinjauan Aspek Hukum persyaratan
terhadap Pelanggaran
1. Ketentuan Pidana atau Jalur Hukum Pidana
Ketentuan Pidana dalam perkara lingkungan hidup ditentukan dengan memperhatikan niat batin seseorang (mens rea atau mental elements) yang sering disebut sebagai kesalahan si pelaku (schuld-verband).Niat batin seseorang di dalam pertanggungjawaban pidana di dalam hukum lingkungan dibedakan atas kesengajaan dan kelalaian. Berdasarkan niatnya maka seseorang dapat dituntut pidana atas:
Dalam perkara yang mengakibatkan pencemaran dan / atau perusakan lingkungan hidup:
dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, ancaman pidananya penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500. 000. 000,- (lima ratus juta rupiah) (vide pasal 41 UULH) karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah) (vide pasal 42 UULH)
Dalam perkara penggunaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) (vide PP No. 74 Tahun 2001): dengan sengaja melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300. 000. 000,- (tiga ratus juta rupiah)” (vide pasal 43 UULH) karena kealpaannya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100. 000. 000,- (seratus juta rupiah)” (vide pasal 44 UULH).
Oleh karena itu, penuntutan dapat menggunakan ketentuan pidana dalam peraturan yang berhubungan dengan lingkungan hidup seperti Ordonansi Ganguan Stb. Nomor 226 yang dirubah dengan Stb. 449 Tahun 1927 dengan konsekuensi ancaman pidana sangat ringan.
Untuk masalah sanksi pidana :
badan hukum dapat dikenakan sanksi pidana dalam perkara kerusakan atau pencemaran lingkungan;
delik lingkungan perlu dirumuskan dalam pengertian yang terkandung dalam undang-undang lingkungan hidup guna memudahkan penyelesaian perkara di pengadilan;
ketentuan pidana dalam berbagai peraturan perundang-undangan lingkungan perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan pasal 22 Undang-undang Lingkungan Hidup;
keberhasilan pengelolaan lingkungan hidup secara terpadu memerlukan kerjasama yang serasi antara badan legislatif, eksekutif dan yudikatif
Hubungannya dengan sanksi pidana, tindak pidana korporasi pada UU Nomor 19 Tahun 2004 pada: Pasal 78. Dari sanksi Pasal 78 angka (14) UU Nomor 19 Tahun 2004, yang dapat dikategorikan dalam sanksi tindak pidana korporasi di bidang kehutanan, sementara yang lain yakni Pasal 78 angaka 1-13 dan 15 termasuk dalam pasal tindak pidana biasa .
Pasal 78 angka 14 dirumuskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 50 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dikenakan pidana sesuai dengan ancaman pidana masing-masing ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.
Dengan demikian, apabila pelakunya badan hukum atau badan usaha, maka sanksi pidana seperti pasal 50 ayat (1),(2) dan (3), diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,- (lima milyar rupiah) dan ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan .
Ke depan, dalam penegakan hukum untuk kasus-kasus illegal logging, aparat penegak hukum harus lebih tegas dan berani menerapkan pasal-pasal korporasi yang sudah ada pada UU Nomor 41 Tahun 1999 UU Nomor.19 Tahun 2004.
2. Jalur Hukum Perdata
a. gugatan atas perkara lingkungan hidup dapat dilakukan oleh:
Orang/korban yang terkena langsung pencemaran/perusakan lingkungan hidup (163 HIR)
Organisasi Lingkungan Hidup (LSM) yang memiliki hak gugat (ius standi) berdasarkan undang-undang untuk kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup (vide pasal 38 ayat (1) UULH)
Instansi pemerintah yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup, bertindak untuk kepentingan masyarakat jika pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup terjadi sedemikian rupa sehingga mempengaruhi perikehidupan pokok masyarakat (vide pasal 37 ayat (2) UULH)
b. bentuk gugatan orang/korban yang terkena langsung pencemaran lingkungan hidup ada 2:
Gugatan individu (vide pasal 163 HIR)
2. Gugatan perwakilan kelompok (class action) (vide pasal 37 ayat (1) UULH Jo. Per. MA N0. 1 Tahun 2002)
c. isi gugatan berdasarkan undang-undang lingkungan hidup:
Dapat meminta ganti kerugian dan / atau tindakan tertentu kepada pelaku usaha yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup berdasarkan kesalahan pelaku usaha (berdasarkan pasal 34 UULH)
Dapat meminta ganti kerugian terhadap penanggungjawab usaha yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan / atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan beban pembuktian pada pelaku usaha berdasarkan prinsip tanggung jawab mutlak (berdasarkan pasal 35 UULH).
Perkecualian untuk LSM tidak dapat meminta ganti rugi hanya terbatas pada tindakan tertentu, menyatakan seseorang telah melakukan perbuatan melanggar hukum dan membuat atau memperbaiki unit pengolah limbah.
Selain ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-undang ini, terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup dapat pula dikenakan tindakan tata tertib berupa:
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau
penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan; dan/atau
perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau
mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. (vide pasal 47 UULH).
3. Jalur Adminidtratif
Ketentuan tentang sanksi administrasi ini tidak terdapat dalam UULH, karena pada umumnya sanksi administrasi terkait dengan sistem perizinan.Seorang yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana tercantum dalam izin yang diberikan dikenakan sanksi administrasi yang diberikan oleh instansi yang berwenang memberi izin.
Dalam UUPLH diadakan ketentuan dengan sanksi administrasi, sehingga diperoleh ketentuan yang lebih jelas, yang dapat diterapkan oleh instansi yang terkait
Pasal 25 UUPLH menyatakan :
Gubernur/ Kepala Daerah Tingkat I berwenang melakukan paksaan pemerintahan terhadap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran, serta menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, melakukan tindakan penyelamatan, penanggulangan, dan/atau pemulihan atas beban biaya penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan, kecuali ditentukan lain berdasarkan undang-undang.
Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diserahkan kepada Bupati/WalikotaMadya/Kepala Daerah Tingkat II dengan peraturan daerah Tingkat I.
Pihak ketiga yang berkepentingan berhak mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan paksaan pemerintahan, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Paksaan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), didahului dengan surat perintah dari pejabat yang berwenang.
Tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemulihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan bayaran sejumlah uang tertentu.
Perlu diperhatikan, bahwa penyerahan wewenang sebagaimana tercantum dalam ayat (2) dari Gubernur/Kapala Daerah Tingkat I kepada Bupati/ WalikotaMadya/ Kepala Daerah Tingkat II tidak otomatis berdasar UUPLH ini, akan tetapi melalui peraturan daerah Tingkat I, jadi melalui pembicaraan di DPRD Tingkat I. Dengan demikian perlu ditetapkan Perda tersebut. Dalam ayat (5) dinyatakan, bahwa tindakan penyelamatan, penanggulangan dan/atau pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu. Ketentuan dalam ayat (5) ini diterapkan, apabila penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan tidak mempunyai perangkat keras berupa alat-alat, maupun perangkat lunak berupa kemampuan teknis untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut, sehingga ia menyerahkan uang tertentu yang jumlahnya memadai untuk dilakukannya tindakan tersebut oleh instansi pemerintah atau pihak lain yang mempunyai kemampuan untuk itu.
Pasal 26 UUPLH menyatakan :
Tata cara penetapan beban biaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 25 ayat (1) dan ayat (5) serta penagihannya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan
dalam hal peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum dibentuk, pelaksanaannya menggunakan upaya hukum menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku Pasal 27 UUPLH menyatakan :
Pelanggaran tertentu dapat dijatuhi sanksi berupa pencabutan izin usaha dan/atau kegiatan.
Kepala Daerah dapat mengajukan usul untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan kepada pejabat yang berwenang.
Pihak yang berkepentingan dapat mengajukan permohonan kepada pejabat yang berwenang untuk mencabut izin usaha dan/atau kegiatan karena merugikan kepentingannya.
Penjelasan ayat (3) menyatakan, bahwa bobot pelanggaran peraturan lingkungan hidup bisa berbeda-beda mulai dari pelanggaran syarat administratif sampai dengan pelanggaran yang menimbulkan korban.
Yang dimaksud dengan pelanggaran tertentu adalah pelanggaran oleh usaha dan/atau kegiatan yang dianggap berbobot untuk dihentikan kegiatan usahanya, misalnya telah ada warga masyarakat yang terganggu kesehatannya akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan hal terdepan dalan penegakan hukum lingkungan.Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas.
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.
Pada dasarnya setiap kegiatan pembangunan akan menimbulkan perubahan yang bersifat positif ataupun negatif. Untuk mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup, maka perlu diusahakan peningkatan dampak positif dan mengurangi dampak negatif.
Kewenangan pemerintah untuk mengatur merupakan suatu hal yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang.Dari sisi Hukum Administrasi Negara, kewenangan ini di sebut dengan kewenagan atribusi, yaitu kewenangan yang melekat pada badan-badan pemerintah yang diperoleh dari Udang-Undang.Sehingga badan-badan pemerintah tersebut dengan demikian memilii kewenangan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997.
Dengan demikian, badan-badan pemerintah yang berwenang meiliki legitimasi (kewenangan bertindak dalam pengertian politik) untuk menjalankan kewenangan hukumnya.Karena masalah legitimasi adalah persoalan kewenangan yaitu kewenangan menerapkan sanksi seperti pengawasan dan pemberian sanksi yang merupakan suatu tugas pemerintah seperti yang diamanatkan oleh undang-undang.Dalam hal pengawasan dilakukan oleh suatu lembaga yang dibentuk khusus oleh pemerintah.
Kemampuan daya dukung lingkungan hidup terdapat beban pencemaran mempunyai keterbatasan. Apabila kondisi ini dibiarkan akan berdampak terhadap kehidupan manusia. Oleh karena itu penegakan hukum adminitrasi oleh lembaga pemerintah harus dilaksanakan.
Sanksi-sanksi hukum adminitrasi yang khas antara lain :
a. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan)
Diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.
b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya "dapat diakhiri" atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).
Penerapan Sanksi administrasi dapat berupa upaya paksa pemerintah yang berupa segala tindakan tertentu bagi para pelaku usaha untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pelanggaran lingkungan, menanggulangi akibat yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran, pemulihan lingkungan kepada keadaan semula atas biaya pelaku usaha (Berupa paksaan pemerintah, uang paksa, penutupan tempat usaha, penghentian kegiatan mesin perusahaan, dan pencabutan izin)
Upaya paksa pemerintah itu juga dapat diganti dengan pembayaran sejumlah uang tertentu/denda
Pelanggaran lingkungan tertentu juga dapat dijatuhi sanksi administrasi berupa pencabutan ijin usaha dari pejabat yang berwenang yang diusulkan oleh Kepala Daerah atau Pihak yang berkepentingan yang merasa dirugikan atas pelanggaran lingkungan oleh pelaku usaha tersebut.
Dan Sanksi Undang-Undang No 32 tahun 2004 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Bagian
Kedua
Sanksi
Administratif
Pasal
76
(1)Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan.
(2)Sanksi
administratif terdiri atas:
a.teguran
tertulis;
b.paksaan
pemerintah;
c.pembekuan
izin lingkungan; atau
d.pencabutan
izin lingkungan.
Pasal77
Menteri
dapat menerapkan sanksi administratifterhadap penanggung jawab usaha
dan/ataukegiatan jika Pemerintah menganggap pemerintah daerah secara sengaja
tidak menerapkan sanksiadministratif terhadap pelanggaran yang serius dibidang
perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan hidup.
Pasal
78
Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 76 tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari
tanggung jawab pemulihan dan pidana.
Pasal
79
Pengenaan
sanksi administratif berupa pembekuanatau pencabutan izin lingkungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (2) huruf c dan huruf
dilakukan
apabila penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan tidak melaksanakan paksaan
pemerintah.
(1)Paksaan
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76
ayat
(2) huruf b berupa:
a.penghentian
sementara kegiatanproduksi;
b.pemindahan
sarana produksi;
c.
penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi ;
d.pembongkaran;
e.penyitaan
terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
f.penghentian
sementara seluruh kegiatan atau
g.tindakan
lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan
fungsi lingkungan hidup.
(2)
Pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila
pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:
a.ancaman
yang sangat serius bagimanusia dan lingkungan hidup;
b.dampak
yang lebih besar dan lebih luasjika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau
perusakannya; dan/atau
c.kerugian
yang lebih besar bagilingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran
dan/atau perusakannya.
Pasal
81
Setiap
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan
pemerintah dapat dikenai denda atas setiap keterlambatan pelaksanaan sanksi
paksaan pemerintah.
Pasal
82
(1)Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota berwenang untuk memaksa penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan untuk melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dilakukannya.
(2)Menteri,
gubernur, atau bupati/walikota berwenang atau dapat menunjuk pihak ketiga untuk
melakukan pemulihan lingkungan hidup akibat pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup yang dilakukannya atas beban biaya penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan.
Pasal
83
Ketentuan
lebih lanjut mengenai sanksiadministratif diatur dalam
Peraturan
Pemerintah
2.4
Pengertian Kesehatan Lingkungan
- Yakni suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologis yang dinamis antara manusia dengan lingkungan untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat, sejahtera, dan bahagia. (UU No. 4/1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup)
- Hygiene: Segala usaha untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan. (UU No. 11/1962)
- Usaha-usaha Umum:
1. Dilakukan oleh pemerintah, swasta, perorangan yang
menghasilkan sesuatu yang dapat digunakan oleh umum.
2. Menghasilkan suatu yang dapat dimanfaatkan langsung
oleh umum, seperti: PDAM, Pabrik makanan dan mainuman, dll
3. Dipergunakan langsung oleh masyarakat, seperti KA,
Kapal Laut, Terminal, Bioskop, Pasar, sekolah dll
2.5
Sanksi Hukum bagi pelanggar
Sesuai Dengan PP
No 85 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun
BAB
VI SANKSI
Pasal
62
(1) Instansi yang
bertanggung jawab memberikan peringatan tertulis kepada penghasil,
pengumpul,
pengangkut, pemanfaat, pengolah atau penimbun yang melanggar
ketentuan Pasal 3,
Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 14,
Pasal 15, Pasal
16, Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal
23, Pasal 24,
Pasal 25, Pasal 26, Pasal 28, Pasal 29 Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal
33, Pasal 34,
Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 42,
Pasal 43, Pasal
49, Pasal 52 ayat (2), Pasal 58, dan Pasal 60.
(2) Apabila dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak dikeluarkan-nya peringatan tertulis
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pihak yang diberi peringatan tidak mengindahkan
peringatan atau tetap tidak mematuhi ketentuan pasal yang dilanggarnya, maka
Kepala instansi yang bertanggung jawab dapat menghentikan sementara atau mencabut
sementara izin penyimpanan, pengumpulan, pengolahan termasuk penimbunan limbah
B3 sampai pihak yang diberi peringatan mematuhi ketentuan yang dilanggarnya,
dan bilamana dalam batas waktu yang ditetapkan tidak diindahkan maka izin
operasi dicabut.
(3)
Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menghenti-kan sementara
kegiatan operasi
atas nama instansi yang berwenang dan/atau instansi yang
bertanggung jawab
apabila pelanggaran tersebut dapat membahayakan lingkungan
hidup.
(4) Kepala
instansi yang bertanggung jawab wajib dengan segera mencabut keputusan
penghentian
kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) apabila pihak
yang dihentikan
sementara kegiatan operasinya telah mematuhi ketentuan yang
dilanggarnya.
Barangsiapa yang
melanggar ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 14, Pasal 15,
Pasal 19, Pasal
20, Pasal 29, Pasal 30, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 36, Pasal 37, Pasal 39 dan
Pasal 60 yang
mengakibatkan dan/atau dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup
diancam dengan pidana sebagaimana diatur pada Pasal 41, Pasal 42, Pasal
43, Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 46, dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997
tentangPengelolaan Lingkungan Hidup
3
4
5
2.6
Usaha Usaha Umum dalam Kesehatan
UU No.36 Tahun 2009
BAB
VI. UPAYA KESEHATAN
Bagian
Kesatu
Umum
Pasal 46
Untuk
mewujudkan derajat kesehatan yang setinggi-tingginya
bagi
masyarakat, diselenggarakan upaya kesehatan yang
terpadu
dan menyeluruh dalam bentuk upaya kesehatan
perseorangan
dan upaya kesehatan masyarakat.
Pasal 47
Upaya
kesehatan diselenggarakan dalam bentuk kegiatan
dengan
pendekatan promotif, preventif, kuratif, dan
rehabilitatif
yang dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh,
dan
berkesinambungan.
Pasal 48
(1)
Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui
kegiatan:
a.
pelayanan kesehatan;
b.
pelayanan kesehatan tradisional;
c.
peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit;
d.
penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan;
e.
kesehatan reproduksi;
f.
keluarga berencana;
g.
kesehatan sekolah;
h.
kesehatan olahraga;
i.
pelayanan kesehatan pada bencana;
j.
pelayanan darah;
k.
kesehatan gigi dan mulut;
l.
penanggulangan gangguan penglihatan dan
gangguan
pendengaran;
m.
kesehatan matra;
n.
pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan
alat
kesehatan;
o.
pengamanan makanan dan minuman;
p.
pengamanan zat adiktif; dan/atau
q.
bedah mayat.
(2)
Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) didukung oleh sumber daya
kesehatan.
Pasal 49
(1)
Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat
bertanggung
jawab atas penyelenggaraan upaya
kesehatan.
(2)
Penyelenggaraan upaya kesehatan harus memperhatikan
fungsi
sosial, nilai, dan norma agama, sosial budaya,
moral,
dan etika profesi.
Pasal 50
(1)
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
meningkatkan
dan mengembangkan upaya kesehatan.
(2)
Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya
memenuhi kebutuhan kesehatan
dasar
masyarakat.
(3)
Peningkatan dan pengembangan upaya kesehatan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan
berdasarkan
pengkajian dan penelitian.
(4)
Ketentuan mengenai peningkatan dan pengembangan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
melalui
kerja sama antar-Pemerintah dan antarlintas
sektor.
Pasal 51
(1)
Upaya kesehatan diselenggarakan untuk mewujudkan
derajat
kesehatan yang setinggi-tingginya bagi individu
atau
masyarakat.
(2)
Upaya kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan
pada standar pelayanan minimal kesehatan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai standar pelayanan
minimal
kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kedua
Pelayanan
Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian
Pelayanan
Pasal 52
(1)
Pelayanan kesehatan terdiri atas:
a.
pelayanan kesehatan perseorangan; dan
b.
pelayanan kesehatan masyarakat.
(2)
Pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada
ayat
(1) meliputi kegiatan dengan pendekatan promotif,
preventif,
kuratif, dan rehabilitatif.
Pasal 53
(1)
Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk
menyembuhkan
penyakit dan memulihkan kesehatan
perseorangan
dan keluarga.
(2)
Pelayanan kesehatan masyarakat ditujukan untuk
memelihara
dan meningkatkan kesehatan serta
mencegah
penyakit suatu kelompok dan masyarakat.
(3)
Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) harus mendahulukan
pertolongan
keselamatan nyawa pasien dibanding
kepentingan
lainnya.
Pasal 54
(1)
Penyelenggaraan pelayanan kesehatan dilaksanakan
secara
bertanggung jawab, aman, bermutu, serta merata
dan
nondiskriminatif.
(2)
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab
atas
penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1).
(3)
Pengawasan terhadap penyelenggaraan pelayanan
kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan
oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan
masyarakat.
Pasal 55
(1)
Pemerintah wajib menetapkan standar mutu pelayanan
kesehatan.
(2)
Standar mutu pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan PeraturanPemerintah.
Bagian
Keempat
Peningkatan
Kesehatan dan Pencegahan Penyakit
Pasal 62
(1)
Peningkatan kesehatan merupakan segala bentuk upaya
yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau
masyarakat untuk mengoptimalkan kesehatan
melalui
kegiatan penyuluhan, penyebarluasan informasi,
atau
kegiatan lain untuk menunjang tercapainya hidup
sehat.
(2)
Pencegahan penyakit merupakan segala bentuk upaya
yang
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah,
dan/atau
masyarakat untuk menghindari atau
mengurangi
risiko, masalah, dan dampak buruk akibat
penyakit.
(3)
Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin dan
menyediakan
fasilitas untuk kelangsungan upaya
peningkatan
kesehatan dan pencegahan penyakit.
(4)
Ketentuan lebih lanjut tentang upaya peningkatan
kesehatan
dan pencegahan penyakit diatur dengan
Peraturan
Menteri.
Bagian
Kelima
Penyembuhan
Penyakit dan Pemulihan Kesehatan
Pasal 63
(1)
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
diselenggarakan
untuk mengembalikan status
kesehatan,
mengembalikan fungsi tubuh akibat penyakit
dan/atau
akibat cacat, atau menghilangkan cacat.
(2)
Penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan
dilakukan
dengan pengendalian, pengobatan, dan/atau
perawatan.
(3)
Pengendalian, pengobatan, dan/atau perawatan dapat
dilakukan
berdasarkan ilmu kedokteran dan ilmu
keperawatan
atau cara lain yang dapat
dipertanggungjawabkan
kemanfaatan dan keamanannya.
(4)
Pelaksanaan pengobatan dan/atau perawatan
berdasarkan
ilmu kedokteran atau ilmu keperawatan
hanya
dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai
keahlian dan kewenangan untuk itu.
(5)
Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan
pembinaan
dan pengawasan terhadap pelaksanaan
pengobatan
dan/atau perawatan atau berdasarkan cara
lain
yang dapat dipertanggungjawabkan.
2.7
DASAR HUKUM : UNDANG UNDANG KESEHATAN RI NO:23 TAHUN 1992
Pasal 28
Tentang
Pemberantasan penyakit
Ayat 1
Pemberantasan
Penyakit diselenggarakana untuk menurunkan angkaq kesakitan dan atau kematian
Ayat 2
Pemberantasan
penyakit dilaksanakan terhadap penyakit menular dan tidak menular
Pemberantasan
penyakit menular yang dapat menimbulkan angka kesakitan dan angka kematian yang
tinggi dilaksanakan sedini mungkin
Pasal 29
Pemberantasan
penyakit tidak menular dilaksanakan untuk mencegah dan mengurangi penyakit
dengan perbaikan dan perubahan perilaku masyarakatdan denganb cara lain
Pasal 30
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, pe3nyelidikan, pengebalan,menghilangkan sumber perantara penmyakit, tindakan karantina dan upaya lain yang diperlukan
Pemberantasan penyakit menular dilaksanakan dengan upaya penyuluhan, pe3nyelidikan, pengebalan,menghilangkan sumber perantara penmyakit, tindakan karantina dan upaya lain yang diperlukan
Pasal 31
Pemeberantasan penyakit menular yang dapat menimbuilkan wabah dan penyakit karantina dilaksanakan seasuai dengan ketentuan undang undang yang berlaku
Pemeberantasan penyakit menular yang dapat menimbuilkan wabah dan penyakit karantina dilaksanakan seasuai dengan ketentuan undang undang yang berlaku
BAB III
PENUTUP
3.1 SARAN
Ø
Saran Umum :
untuk menjadikan suatu lingkungan yang hidup dalam
penghidupan yang sehat maka kita sendiri harus menjaga lingkungan tersebut dari
pihak manapun harus mengutamakan yang terbaik bukan hanya pada diri dan
kepentingan sendiri, tetapi utamakanlah kebersamaan dalam lingkup kesehatan.
Dengan begitu masalah-masalah yang menjadi factor terbesar inilah(lingkungan)
akan berkurang dan derajat kesehatan menjadi meningkat,serta keindahan
lingkungan juga dapat kita rasakan bersama, karena lingkungan yang sehat
merupakan Estetika dari lingkungan tersebut KARENA BERSIH ITU SEHAT, BERSIH ITU
INDAH. J
Ø
Saran Khusus
:
Semestinya
lingkungan rumah sakit menjadi tempat yang mendukung bagi pemulihan kesehatan
pasien sebagai “environtment of care” dalam rangka “Patient Safety” yang
dicanangkan oleh organisasi kesehatan dunia WHO. Oleh karena itu rumah sakit
harus bersih dan bebas dari sumber penyakit.Kebersihan yang dimaksud adalah
keadaan atau kondisi yang bebas dari bahaya dan resiko minimal bagi terjadinya
infeksi silang.
Rumah
sakit juga harus menjadi contoh bagi masyarakat untuk membudayakan kebersihan
dan upaya peningkatan kebersihan rumah sakit harus terus menerus dilaksanakan
dengan menggiatkan program supervise, monitoring dan evaluasi agar kebersihan
dapat dipertahankan dan ditingkatkan dari waktu ke waktu.
3.2 KESIMPULAN :
Keberagaman sampah/ limbah
rumah sakit memerlukan penanganan yang baik sebelum proses pembuangan. Sebagian
besar pengelolaan limbah medis rumah sakit masih dibawah standar lingkungan
karena umunya dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA) tanpa disterilkan
terlebih dahulu. Bila pengelolaan limbah tak dilaksanakan sesuai standar
persyaratan pada Kepmenkes No 1204 tahun 2004 tentang… akan menyebabkan
gangguan bagi masyarakat disekitar rumah sakit dan pengguna limbah medis. Agen
penyakit limbah rumah sakit memasuki manusia (host) melalui air, udara,
makanan, alat atau benda.Agen penyakit bisa ditularkan pada masyarakat sekitar,
pemakai limbah medis dan pengantar orang sakit.
Dan pengelolaan limbah
tersebut, sebelum dibawa oleh pihak ketiga harus ada sterilisasi, dan pihak
ketiga harus memperoleh izin pengelolaan limbah padat medis tersebut.Dan daging
sisa hasil Operasi harus dibakar menggunakan mesin Inseminator.
Daftar
Pustaka
1. Etika dan Hukum kesehatan/ Soekidjo Notoatmodjo.—Jakarta :
Rineka Cipta, 2010
3. Said
NI, 1999. Teknologi pengolahan air limbah rumah sakit dengan system
“biofilter anaerob-aerob”. Seminar Teknologi Pengolahan Limbah II: Prosiding,
Jakarta, 16-7 Feb 1999.
4. Shabib
MN, Djustiana N, 1998. Profil DNA plasmid E. coli yang diisolasi dari limbah
cair rumah sakit. Majalah kedokteran Bandung: 30 (1) 1998: 328-41
5.
Arifin.M,
2008. Pengaruh limbah rumah sakit terhadap kesehatan. FKUI
6.
BAPEDAL,
1999. Peraturan tentang pengendalian dampak lingkungan.
7.
http://
ansharcaniago.wordpress.com/2013/02/24/pengelolaan-sampah/limbah-rumah-sakit-dan-permasalahannya.
8.
Etika
& hukum kesehatan / penulis, Hendrik ; editor, Monica Ester, Estu
Tiar.—Jakarta : EGC, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar